Jumat, 18 Februari 2011

MENCARI MAKNA KEKERASAN

Sejenak kita mendengarkan kata kekerasan, pasti akan timbul rasa takut bukan? Hal ini wajar-wajar saja, karena kekerasan itu merupakan hal yang begitu kejam, sadis, dan tidak bermoral. Horns Valley dari Perancis mengatakan “Kekerasan itu merupakan tindakan yang melanggar agama”. Saya rasa bukan hanya agama, tetapi ada juga hal lain seperti hukum, kebiasaan baik, dan pendidikan. Dan juga kekerasan itu bersifat sadis, melanggar norma, dan menantang unsur-unsur kehidupan manusiawi. Kerap kali orang mengatakan kekerasan yang bersifat sadis hanya terjadi di IPDN, saya rasa hal ini sudah basi, karena bukan hanya di IPDN terjadi kekerasan. Baik itu rumah tangga, kampus, sekolah-sekolah Menengah Atas maupun SMP dan SD, bahkan di tengah-tengah masyarakat pasti terdapat hal yang berbau kekerasan.

Kekerasan di dunia ini telah berakar luas, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah bahkan sampai ke lingkungan luas. Hal ini dapat terjadi karena adanya beberapa hal yang yang mungkin terjadi, seperti:

1. Adanya kesalahan jiwa
2. Adanya sifat membalas dendam
3. Prestise
4. Jabatan
5. Pendidikan yang tegas
6. Kesabaran yang habis
7. Kesenangan yang semesta

Dari beberapa hal di atas dapat saya simpulkan bahwa, kekerasan terjadi dari hal hal yang bersifat manusiawi. Kerap kali, kekerasan itu terjadi di lingkungan keluarga dan sekolah. lihatlah di negara yang kita cinta ini, seringkali terjadi kekerasan kepada anak di bawah umur. Sebenarnya anak-anak itu dididik dengan penuh kasih sayang bukan dengan kekerasan. Jika hal ini terjadi secara meluas, boleh dikatakan akan banyak anak di bawah umur yang kerusakan mental maupun fisik.

Sekolah bukanlah mendidik kekerasan tetapi pendidikan yang berguna bagi nusa dan bangsa. Di samping itu, kita harus mengingat bahwa tidak selamanya kekerasan itu bersifat buruk ada juga yang bersifat baik, seperti: Dalam lingkungan penjara, napi yang begitu jahat pantas diberi kekerasan agar kelak ia berubah, dalam kekerasan juga dapat membuat seseorang menjadi disiplin, sopan, bermental baja.

Ada baiknya kekerasan itu dilakukan dalam hal-hal yang positif bukan ke dalam hal negatif, agar kita tidak terjerumus dalam kesengsaraan. Tetapi jika kekerasan itu bersifat hal yang negatif seperti menyiksa, membunuh, melecehkan, dan menodai, ada baiknya diperhatikan 3 sikap yang harus dikuasai agar tidak terjadinya kekerasan yang meluas, yakni:

1. Emosi

Ini merupakan sikap yang harus kita kuasai dalam hal mendidik. Emosional kita jangn digunakan pada hal yang kurang baik, kuasailah tingkah laku agar tidak diselubungi sikap apatis.

2. Kesabaran

Sabarlah dalam suatu hal, jika kita sabar pasti akan berhasil mendidik, jangan terlalu terbawa aura jiwa, apalagi jiwa-jiwa yang masih muda, pasti akan mudah marah atau emosi. Sebaliknya kita harus sabar baik itu dalam hal yang buruk sekali pun.

3. Rela berkorban

Jika kita adalah seorang manusia bermoral, pasti akan memiliki rasa kasihan, atau rela berkorban. Sebaliknya hal ini dilakukan agar tidak terjadi kekerasan,

Jika kita menguasai 3 hal di atas pasti akan terjadi kedamaian bukan kesengsaraan.





By: Lambok D Tampubolon

Probatorium A 2
007/2008

Senin, 07 Februari 2011

Kaum Muda Yang Konsumtif

Jika kita mengingat ungkapan Descartes, “aku berpikir maka aku ada!” menjadi sebuah kebanggaan dan wujud penegasan eksistensi manusia berdasarkan rasionalitas. Saat ini, yang mendominasi adalah, “aku berbelanja, maka aku ada!” sebuah peneguhan eksistensial yang kadang tanpa dasar nalar. Kapitalisme pasar memebentuk manusia menjadi makhluk ekonomi sebagai satu-satunya dimensi kehidupannya. Tentu saja, kemudian hubungan sosial antarsesama manusia sarat dengan simbol dan logika ekonomi.

Salam damai sejahtera bagi kita semua,
Yang saya hormati bapak dan ibu guru sekalian, dewan juri, serta yang saya banggakan saudara seminaris sekalian.
Pada kesempatan ini, pantaslah kita menghaturkan syukur kepada Tuhan Yang Mahaesa, sebab Dia telah memberi kita kesehatan serta kesempatan di saat yang berbahagia ini.
Tempora mutantur et nos mutamur ini illis, ‘waktu berubah dan kita pun berubah seiring dengannya.’ Falsafah ini selalu berkutat dalam pribadi kita. Saya cukup yakin akan persepsi itu. Pada era globalisasi dewasa ini yang mana kita mengetahui begitu dahsyatnya perkembangan IPTEK, budaya masyarakat, dan perilaku sosial, membentuk berbagai problem yang signifikan di hadapan kita. Pada kesempatan ini, izinkan saya menyampaikan segelintir di antara banyaknya problem-problem itu, yakni tentang Kaum Muda yang Konsumtif. Sebenarnya apa itu konsumtif? Konsumtif adalah ideologi yang menjadikan seseorang membeli barang atau menggunakan jasa secara berlebihan, yang belakangan ini menjadi isu nasional dan kerap kali dibahas berbagai tokoh dan dipublikasikan melalui media massa. Mengapa saya mengangkat tema ini?
Para hadirin yang terhormat, kita tahu bahwa seminaris itu adalah bibit unggul, hidup dalam ruang lingkup yang hidup dengan berbagai peraturan yang membangun, yang diyakini akan membentuk pribadi yang utuh, berintelektual, emosional, daya tahan, dan spritual yang baik. Kita boleh saja sedikit berbangga akan semua itu. Berdasarkan paradigma saya, seminaris itu memiliki satu titik kelemahan yang menakutkan. Apa itu? Saya sangat yakin, ketika seminaris memiliki uang atau dalam artian berhadapan dengan uang, pasti tidak dapat menguasai diri untuk membeli dan terus membeli. Hal ini sedikit terbukti dengan penghasilan koperasi kita yang semakin naik dari tahun ke tahun, bahkan yang mendominasi perbelanjaan kita adalah makanan ringan.
Para hadirin yang tercinta, sebenarnya bukan itu saja yang menampakkan bahwa seminaris itu konsumtif. Contoh lain, banyak di antara kita kerap kali membeli pakaian, aksesoris-aksesoris, yang tidak terlalu dibutuhkan. Sebenarnya ini hendak mengatakan apa? Kita tahu bahwa kita tidak berasal dari latar belakang keluarga yang sama, tapi mengapa hal ini terjadi? Kita kembali melihat pada kemajuan zaman, kita kaum muda pada umumnya, dan seminaris khususnya berada pada posisi subordinat (posisi lebih rendah). Artinya kita mudah terpengaruh terhadap apapun yang terjadi.
Berdasarkan hasil penelitian saya di suatu sekolah, sebanyak 40,6 % dari responden yang terpilih terjerumus ke dalam arus konsumerisme. Saya hendak mengatakan kepada saudara-saudari sekalian dan secara khusus kepada seminaris bahwa ekonomi kita masih terbatas, apalagi hidup berasrama, mencari uang Rp 1000,- pun sangast sulit, maka dari itu jadilah kaum muda yang terarah, hemat, berpendidikan, dan peka terhadap ekonomi keluarga kita. Agar kita terbentuk menjadi peribadi yang baik dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Kaum muda itu cenderung ingin menikmati sesuatu yang baru, mutakhir, indah dan instan. Maka kita harus punya sifat selektif. Kita harus berpikir kritis dalam mengambil keputusan, terutama dalam membeli sesuatu. Agar tidak semakin merajalelanya kita dalam menggunakan uang yang diberikan orangtua kita.
Bagi sebagian orang yang mampu secara ekonomi, hal yang menjadi kebiasaan seseorang untuk berperilaku konsumtif yang menjadi gaya hidupnya tidaklah masalah. Bahkan salah satu cara untuk mengikuti perkembangan zaman. Namun tidaklah demikian dengan kaum muda atau kita seminaris yang kurang mampu secara ekonomis. Baiklah kita memperhatikan situasi ekonomi sesama kita. Janganlah lagi kita terlalu sering jajan jajanan karena memang ini tidaklah hal yang betul-betul dibutuhkan agar tercipta cita-cita seminari ini untuk membentuk kaum muda yang siap berkarya dimana pun berada.
Setiap kaum muda memiliki cara hidup masing-masing, baik dalam belajar, bersosial, maupun mengatur hidup diri sendiri demi menunjukkan kekhasan masing-masing. kaum muda sekarang memiliki jiwa pengetahuan yang begitu berpotensial dari sebelumnya. Maka be your self , dan ingat jauhkan diri dari hidup boros, pekalah terhadap sesama. Youth is foer tomorrow.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, akhir kata semoga pidato ini bermanfaat bagi kita semua. Jika terdapat kalimat yang salah saya minta maaf dan terima kasih.





Dominiq
Poe 10/11

Sikap Mencintai Sesama

OPINI




“Omnia vincit amor,” cinta mengalahkan segalanya. Falsafah ini bukanlah bualan belaka, melainkan dasar hidup yang mengandung sarat makna. Banyak orang yang memaknai cinta dengan berbagai paradigma dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, ini merupakan hal yang lumrah karena tidak secuil manusia merasakan kesuksesan maupun kebahagiaan dari cinta. Cinta adalah perasaan kasih dan sayang, perasaan ini bukan hanya tertuju bagi lawan jenis melainkan bagi semua makhluk hidup.
Kita setiap individu memiliki eksistensi yang sama baik dalam hak dan kewajiban, kita terbentuk dari ajaran, moral, dan tradisi masyarakat masing-masing. Kita diajarkan untuk mencintai sesama kita tanpa pandang bulu, tanpa melaukan diskriminasi menurut aliran pikiran kita masing-masing. Kini sikap mencintai sesama bagi kalangan seminaris sudah luntur, kita menganggap teman di sekitar kita hanya sebagai kenalan belaka bak seiring bertukar jalan seia bertukar sebut, meskipun bersama tetapi lain tujuan. Kerap kali terjadi kontak yang tidak harmonis antara seminaris, baik desebabkan oleh masalah sepele berupa omongan hingga yang terasa familiar layaknya berantam. Ini menandakan sikap mencintai sesama yang seperjuangan dengan kita sekali pun hampir punah. Berpijak dari situasi ini, kita disarankan untuk kembali pada keadaan yang sesuai berdasarkan moral yang diajarkan sebelumnya yaitu mencintai sesama, baik teman seangkatan, abang kelas, para staff, dan lain sebagainya. Kita seminaris diharapkan untuk tidak memiliki teman yang sama setiap saat, supaya terjalin kasih persaudaraan yang sepadan. Berkutatlah dengan ungkapan “I am for the people but not the people form me”, supaya kita tidak selalu mengandalkan ego melainkan mengandalkan cinta yang konkret.
Tumbuh kembangkanlah sikap mencintai bagi sesama tanpa pandang bulu, walaupun dia musuh kita, karena kita diajarkan untuk mencintai musuh kita, bahkan mendoakannya. Memang berat untuk melaksanakan sikap mencintai kita terhadap sesama. Berikut hal yang mungkin bisa membantu kita untuk menerbitkan kasih sayang kita.

1. Bersikap Adil
Memberikan sesuai dengan apa yang merupakan hak seseorang. Meskipun dia bukanlah satu keluarga, marga, daerah, strata kita, kita diajarkan untuk tidak melakukan tindakan separatis. Tertujulah bagi orang yang benar, namun maafkan sekaligus hormatilah orang-orang yang bersalah.

2. Mengaktifkan Wirasa dan Wiraga
Dengan memacu perasaan dan tindakan, kita pasti mampu mencintai sesama, seperti mencintai diri kita sendiri. Bukan membuat orang tertekan batin, takut, gugup, dsb. Cintailah dia berdasarkan kasih suci dan kemuliaan hati.




3. Mengedepankan Sikap Menghormati
Bukan gengsi yang diharapkan terjadi pada diri seminaris melainkan menghormati sesama, jangan karena muncul sikap superioritas dan prestise kita menomorduakan yang di bawah umur kita.

Adalah baik untuk mengaplikasikan itu semua dalam kebersamaan kita, saya harap ini menjadi secuil sumbangsih untuk kembali mendapatkan iluminasi yang berguna dalam perkembangan EQ kita.

Dominiq

Syn ‘10

Di Dipar Melambai Kejora

bertapak di lorong juma
disapa rerumputan melambai sayup
entahlah itu mengalirkan sesuap cinta
bagi pengembara terbang jauh
tinggalkan setapak tanda persahabatan



padahal beta melambai kehijauannya
sebelum merangkak ke negeri seberang
tuk bentangkan jerih pengorbanan
jumaku yang hasilkan berbagai rempah



maaf rindumu aku tangiskan
di sekumpulan kata-kata sedih
s’bab ku harus katakan
selamat berpisah. . .
juaku kan mimpikan kenangan kita



Oh, juma ladang roda pedatiku
t’rimakasih iba ini haturkan
ku janji akan sampaikan salam
hangatku bagimu sebidang
di dipar melambai kejora




Dominiq

Januari 2011

Sebilah Harap Dengan Podah

nasihat podah lentikkan telapak timah
melangkah sungsah berpijak salah
hiasi bingkai raga yang berserah
ini takdir terminum di waduk asa



kuiringi salib ini dengan bisikan
terasa mbeling karena tak beriak tegar
anggap lenggana s’bab tak ada embun
iluminasikan hidupku rasa dipingkal
yang gigi kawat di tepi insan



cukuplah podah itu bersuka di relung gua
kini tak tahan aku semua perih
ku ingin juang pantang bertangga
tercibir meski tak b’ri
sebilah harap



masih berjuang. . .
demi kesempurnaan panggilan
moga dayung di arus dengan kayuh podah itu
mengalir deras








Dominiq
Desember 2010

Pigura Parasmu Di Asaku

Temu di 3-sem sapaan kita
lentikkan manis di pipi pusakamu
gemulaikan alis di tepi pelipis ikal
semua argumeni pesona auramu



Lagi kau tak jemu tatapku
dengan intipan lihatmu yang menderuh
buat bibir ini ternganga keheranan
di balik jeruji kesungguhan rasa
rasa yang cipta sakura mekar
s’bab parasmu colek insan yang dina



terhirup pula di barisan rambutmu wewangi
sadurkan aroma pati semata lega
gilaskan cinta di fikir
s’bab udara segan melintas lantai bak beradu



tak semu tapi ini realita
s’mua terangkai di bandara suka
dan tak terlupakan
bahkan hingga hayat disapa
itulah pigura parasmu di asaku








Dominiq
Februari 2011

Terasa Goresan Sulit

Teriring embun hitam enggan mengawang
di lorong insan rasaku berkecambah kasih
kasih yang diselubungi mantel berhias cinta
sungguh terasa sulit luapkan itu semua
tergores malu nyatakan nokta



Seluruh hidupmu aku geluti dalam anganku
terhias di mimpi-mimpi indah syahdu
di harian bertabur khayal dikau bersamaku
tapi ada duri menyumbat
luapkan emosionalku
terasa goresan sulit



Pula penjara mulia ini
taklah izinkan penghuninya rantau
rantau di arti menyimpang
hanya karena sekeping malaikat



Memang pagarnya amatlah rawan
juga hansip di setiap seginya
tapi tidakkah ada kesempatan
tuk rangkai masa muda ini
mengapa selalu terasa goresan sulit
padahal itu hanya hiburan

Keyakinan Dalam Memilih

Dengan memahami keyakinan, kita akan tahu bagaimana tuk memilih.

Salam damai sejahtera bagi kita semua,
Yang saya hormati bapak dan ibu guru sekalian, dewan juri, serta saudara seminaris sekalian.
Pada kesempatan ini, pantaslah kita mengahturkan syukur kepada Tuhan yang Mahaesa, sebab Dia telah memberi kita kesehatan serta kesempatan di saat yang berbahagia ini.
‘Ab esse et posse’, dari keadaan menjadi pengetahuan. Melihat minimnya para dermawan, biarawan/wati, dan kaum muda yang berkompeten sekarang ini, saya menatap satu penyebab yang berpengaruh besar terhadap kejadian itu., yakni dalam hal “keyakinan dalam memilih.” Pada kesempatan ini, saya mengaharap kepada saudara/i sekalian, agar memperkenankan saya untuk membahas topik sederhana ini.
Para hadirin yang terhormat,
Keyakinan dalam memilih adalah suatu tekad yang bulat untuk menghunjuk apa yang ada di dalam hati nurani kita. Hal memilih dalam hidup sosial dan solidaritas kita terdiri dari berbagai macam dan bentuk, dari soal sederhana sampai soal yang menyangkut harga diri kita, seperti memilih profesi, close friend, pacar, bahkan kedudukan kita kelak di tengah-tengah masyarakat. Kita sebagai makhluk individual memiliki banyak perbedaan keinginan, termasuk kita seminaris yang notabene adalah calon pastor.
Dewasa ini, dikarenakan maraknya ilmu pengetahuan, banyak masyarakat universal yang sebagian besar adalah kaum muda memiliki berbagai penyakit batiniah, seperti adanya rasa keragu-raguan, apatis, regresif (bersifat mundur), kurangnya kekonstruktifan diri (bersifat membina/membangun), serta minimnya partisipasi dalam masyarakat.
Saudara/i yang terkasih,
Dalam pemaparan ini, saya memetik sebutir masalah yang kerap melanda hati nurani kita, yakni “memilih kedudukan kita kelak di tengah-tengah masyarakat.” Film The Pursuit of Happyness diangkat dari kisah nyata seorang milyuner AS, Chris Gardner. Film ini menceritakan keyakinan Chris menjadi investor besar walaupun ia anak seorang fakir miskin, ia memilih menjadi investor karena ia yakin bisa melakukannya. Bagaimana dengan kita? Belakangan ini, banyak seminaris yang tidak yakin memilih jalan hidupnya. Apakah melanjuti panggilan, menjadi awam, memilih kongregasi yang cocok, dsb. Semua itu tak dapat dipungkiri, bagai air di daun talas.
Para hadirin yang terhormat,
Thing first if to do something, berpikirlah lebih dulu untuk berbuat sesuatu, karena pendidikan adalah perhiasan di waktu senang, dan tempat perlindungan di waktu susah. Dari yang saya lihat, banyak individual yang terlalu sensitif akan efek samping yang dipilihnya, terlalu mengglobal, bahkan karena adanya prestise yang tinggi. Padahal jika kita merefleksikan apa yang dikatakan Leonardo da Vinci, yakni “tidak ada yang tidak dapat dilakukan,” kita seharusnya berani tanpa rasa kekuatiran sedikit pun, dan juga seperti Descartes katakan, “mens sana ini corpore sano”, dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Kita semua pasti sehat bugar baik secara jasmani dan rohani. We can prefer the best.
Sesuatu itu sudah ada suratannya, maka dalam memilih jalan hidup kita, kita harus memprioritaskan primordialisme (pemikiran yang mengutamakan komunitas masyarakat), bepikir secara matang dan kritis, sedia payung sebelum hujan, yakni kita harus bersiap-siap akan masalah yang menghantam, dalam bentuk apapun itu, agar dalam memilih apa yang kita inginkan, kita sangat yakin dan teguh, dan apa yang masuk dalam kepribadian kita, berguna bagi kita sendiri maupun orang lain.
Saudara/i yang tercinta,
Semoga dengan pemaparan singkat ini, saya beserta saudara dan saudari sekalian dapat melaksanakan apa saja solusi yang berguna bagi meneguhkan keyakinan dalam memilih sesuatu dalam hidup kita. Akhirnya saya mohon maaf jika terdapat kata-kata yang salah dan kurang berkenan di hati hadirin sekalian. Terima kasih.