Senin, 07 Februari 2011

Keyakinan Dalam Memilih

Dengan memahami keyakinan, kita akan tahu bagaimana tuk memilih.

Salam damai sejahtera bagi kita semua,
Yang saya hormati bapak dan ibu guru sekalian, dewan juri, serta saudara seminaris sekalian.
Pada kesempatan ini, pantaslah kita mengahturkan syukur kepada Tuhan yang Mahaesa, sebab Dia telah memberi kita kesehatan serta kesempatan di saat yang berbahagia ini.
‘Ab esse et posse’, dari keadaan menjadi pengetahuan. Melihat minimnya para dermawan, biarawan/wati, dan kaum muda yang berkompeten sekarang ini, saya menatap satu penyebab yang berpengaruh besar terhadap kejadian itu., yakni dalam hal “keyakinan dalam memilih.” Pada kesempatan ini, saya mengaharap kepada saudara/i sekalian, agar memperkenankan saya untuk membahas topik sederhana ini.
Para hadirin yang terhormat,
Keyakinan dalam memilih adalah suatu tekad yang bulat untuk menghunjuk apa yang ada di dalam hati nurani kita. Hal memilih dalam hidup sosial dan solidaritas kita terdiri dari berbagai macam dan bentuk, dari soal sederhana sampai soal yang menyangkut harga diri kita, seperti memilih profesi, close friend, pacar, bahkan kedudukan kita kelak di tengah-tengah masyarakat. Kita sebagai makhluk individual memiliki banyak perbedaan keinginan, termasuk kita seminaris yang notabene adalah calon pastor.
Dewasa ini, dikarenakan maraknya ilmu pengetahuan, banyak masyarakat universal yang sebagian besar adalah kaum muda memiliki berbagai penyakit batiniah, seperti adanya rasa keragu-raguan, apatis, regresif (bersifat mundur), kurangnya kekonstruktifan diri (bersifat membina/membangun), serta minimnya partisipasi dalam masyarakat.
Saudara/i yang terkasih,
Dalam pemaparan ini, saya memetik sebutir masalah yang kerap melanda hati nurani kita, yakni “memilih kedudukan kita kelak di tengah-tengah masyarakat.” Film The Pursuit of Happyness diangkat dari kisah nyata seorang milyuner AS, Chris Gardner. Film ini menceritakan keyakinan Chris menjadi investor besar walaupun ia anak seorang fakir miskin, ia memilih menjadi investor karena ia yakin bisa melakukannya. Bagaimana dengan kita? Belakangan ini, banyak seminaris yang tidak yakin memilih jalan hidupnya. Apakah melanjuti panggilan, menjadi awam, memilih kongregasi yang cocok, dsb. Semua itu tak dapat dipungkiri, bagai air di daun talas.
Para hadirin yang terhormat,
Thing first if to do something, berpikirlah lebih dulu untuk berbuat sesuatu, karena pendidikan adalah perhiasan di waktu senang, dan tempat perlindungan di waktu susah. Dari yang saya lihat, banyak individual yang terlalu sensitif akan efek samping yang dipilihnya, terlalu mengglobal, bahkan karena adanya prestise yang tinggi. Padahal jika kita merefleksikan apa yang dikatakan Leonardo da Vinci, yakni “tidak ada yang tidak dapat dilakukan,” kita seharusnya berani tanpa rasa kekuatiran sedikit pun, dan juga seperti Descartes katakan, “mens sana ini corpore sano”, dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Kita semua pasti sehat bugar baik secara jasmani dan rohani. We can prefer the best.
Sesuatu itu sudah ada suratannya, maka dalam memilih jalan hidup kita, kita harus memprioritaskan primordialisme (pemikiran yang mengutamakan komunitas masyarakat), bepikir secara matang dan kritis, sedia payung sebelum hujan, yakni kita harus bersiap-siap akan masalah yang menghantam, dalam bentuk apapun itu, agar dalam memilih apa yang kita inginkan, kita sangat yakin dan teguh, dan apa yang masuk dalam kepribadian kita, berguna bagi kita sendiri maupun orang lain.
Saudara/i yang tercinta,
Semoga dengan pemaparan singkat ini, saya beserta saudara dan saudari sekalian dapat melaksanakan apa saja solusi yang berguna bagi meneguhkan keyakinan dalam memilih sesuatu dalam hidup kita. Akhirnya saya mohon maaf jika terdapat kata-kata yang salah dan kurang berkenan di hati hadirin sekalian. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar