Minggu, 06 Oktober 2013

CERMIN ITU MASIH BENING

Kumelihat bunga-bunga tersenyum manis pagi itu, menghiasi taman di sekeliling ruangan tempat aku bersila. Semilir angin pun sejuk menembus pori-pori dan menelusuk ke dalam ragaku. Aromanya mengalahkan bau obat-obatan yang mungkin dipakai di Rumah Sakit ini. Dan rasa kantukku pun hilanglah lenyap terbang jauh, sebab aku sungguh-sungguh berjaga malam ini, menanti kelahiran bayi Ibu Flova, isteri Pak Rio sahabatku. “Selamat pagi bang?” Sapa seorang perawat yang kebetulan lewat di depanku, membuyarkan fantasiku akan jernihnya tetesan air dari dedaudan di taman itu. Yang tadinya aku meringkuk, lekas berdiri dan membalas “selamat pagi juga Sus.”Aku pun menghadiahinya senyum andalanku, bersimpul penuh isyarat terbingkai. Di lorong depan masih kuperhatikan paras kecemasan yang tampak di permukaan wajah Pak Rio, yang mungkin karena Bu Flova isterinya hendak melahirkan anaknya yang keenam. Rasanya, dia khawatir akan nasib isterinya yang tidak melahirkan lagi setelah delapan tahun lalu Rini anaknya yang kelima lahir ke dunia yang sarat warna hidup ini. Dia berjalan mondar-mandir di lorong itu, dan pasti sambil mendaraskan doa dalam hati kecilnya. Doa itu menjadi media Pak Rio untuk menyapa Tuhan dan berharap dengan nyala doa itu, Tuhan sudi kiranya membantu Bu Flova pendamping hidupnya, di saat penting dan bersejarah untuk melahirkan anak keenamnya. Pak Rio senantiasa menganyomi keluarganya, berjuang lepas dari aneka konflik, berpaling dari suasana tegang, menghindar dari permusuhan, dan lari dari kebencian, maka tak heran, saat kubertemu dengannya, senyum bahagia selalu terpancar dari bibir pantunnya. Karena keramahannya yang acap kali membuat orang berdegung ria, maka tidaklah mengherankan keluarganya pun turut senang kepadanya. Kini segenap keluarga telah berkumpul semalaman, bermantel selimut, berkumpul di ruang tamu, dengan sabar dan bersiap-siap menyambut kedatangan bayi itu. Kutahu, sebelumnya kain gurita, kain lampin, kain sarung, dan baju buat si kecil telah disediakan sedemikian lengkap, agar kemunculannya sungguh memberikan warna yang baru dalam keluarga mereka. Tiba-tiba “Oa.., oa.., oaa..” Lentik suaranya bergema menyapa mereka yang berdiri di ruang persalinan dan yang duduk termenung, menatap anyelir dan sanggar yang berayun berdansa ria disebabkan angin meriuh. Litani bayi mungil itu menjamuri suara di telinga segenap keluarga yang ternganga lepas dari mimpi fatamorgana. Tadinya, karena mendengar merdunya lantunan suara bayi itu. Aku pun pergi dan duduk di bench di salah satu koridor di RS itu. Lalu aku duduk manis sambil menggenggam sebuah koran dan membacanya. Seraya membaca, aku memegang Rosario sambil berdoa bersama Bunda Maria berharap bayi itu dan Ibu Flova tetaplah sehat setelah proses persalinan. Aku hadir di situ untuk menunjukkan dan membingkai rasa kekeluargaanku bersama keluarga Pak Rio. Aku berpikir dengan kehadiranku, ungkapan cintaku akan keluarganya sedikit terasa. Pak Rio dan keluarganya adalah keluarga Muslim yang saleh, tawakal, dan sakinah. Aku mengenal mereka saat aku ditolong Pak Rio ketika terjerembab ke dalam sebuah parit di tepi rumahnya. Senyumnya yang menggambarkan kedamaian dan tutur sapanya yang ramah secara bersamaan menolong aku. Pelipis hatiku pun turut tersenyum disaat kulihat dia, hehehe. Aku adalah seorang jejaka SMA yang juga tukang ojek di kota ini, yang tak kenal keluarga darah seorang pun, maka hingga kini pun aku hidup sebatang kara. Aku memang pernah mencicipi rasa kasih sayang seorang Ibu kepada anaknya, namun itu tidaklah berlangsung lama. Ketika umurku beranjak delapan tahun, Ibu kandungku telah menghadap kehadirat Bapa di surga. Tersiar rumor, ia sakit kanker teroid (pembengkakan kelenjar ludah), dan setidaknya itu yang aku ingat kata seorang Ibu waktu itu. Syahdan, kami adalah seorang Katolik, hingga kini akupun seorang Katolik, dengan maknanya yang universal, aku berharap dan berjuang menjadi saudara bagi sesama, tidak memandang ras, suku, bahkan agama yang akhir-akhir ini kerap menjadi sumber konflik. Hingga aku mengenal Pak Rio aku jauh memahami indahnya, damainya, sentosanya hidup dalam kerukunan beragama. Tuhan yang bersemayam di surga pasti dengarkan hamba-Nya yang berharap akan damai menghiasi dunia ciptaan terbaik-Nya ini. Di saat sedang asyiknya aku membaca koran tadi, aku mendengar suara bernotasi yang berseru memanggilku “Domi, Domi?” Akupun menoleh ke arah suara yang memanggilku itu, warna suara itu sudah akrab di telingaku, dan aku bisa memastikan itu adalah suara Pak Rio. Setelah mataku menemui raga tegap dan tingginya, aku membalas, “ iya Pak.” “Tolong kemarilah sebentar?” Ajaknya sambil tersenyum damai, persis ketika kami bertemu dulu. Aku pun bergegas bak seorang anak yang telah lama tidak bertemu induknya. “Ada apa ya Pak?” Tanyaku penuh keheranan, namun dalam hati bertutur pasti tentang si kecil nih. Aku menatap pipinya naik seolah-olah menggambarkan suasana keugaharian sambil meneteskan linangan air mata kegembiraan. “Bayi kami telah lahir Dom.” “Selamat dong Pak?” Sambungku penuh kegembiraan, sambil menjamah tangan kanannya, berisyarat, selamat, selamat, dan selamat. “Dia laki-laki dan gemuk serta tampak gagah seperti kamu.” Seloroh Pak Rio, yang membuatku sedikit tersenyum dan merasa tersanjung jauh di hati sepiku, menembus lorong asaku. Dan ikut kurasakan dinginnya udara pagi itu hingga nafas pun mengeluarkan gumpalan-gumpalan asap, dan aku teringat ketika anak-anak dulu, saat kuhembuskan nafas di suatu cermin, tampaklah berupa uap putih namun bening, dan hilang seketika. Aku lantas bertanya, “oh iya Pak, ngomong-ngomong kalau boleh tahu ntar siapa namanya ya Pak?” Dan kutatap juga bola mata cokelatnya sambil kuraih kantong depanku agar tanganku tidak turut kedinginan. “Setelah menimang, aku dan isteriku akan menyematkan nama anak kami sesuai dengan namamu, Dominikus.” Ungkapnya dengan aura kepastian, seakan-akan merasuki inti hatiku. “Oh ya? Itu kan ciri dari nama seorang Katolik? Kok bisa Pak?” Balasku dalam rona penjelasan dan nokta penuh keheranan. “Iya Dom, betul katamu itu. Maksudnya agar engkau menjadi cermin baginya kelak, dan kami mengharapkan engkau rela melihat jejak hidupnya, menasihati dia dalam bingkai kekeluargaan dan jadilah contoh yang baik!” Jelasnya dalam ketegaran namun lembut penyampaiannya. Aku pun menerawang dalam angan yang terbang ke perjalanan hidup yang telah aku lewati selama ini. Layakkah aku, pantaskah aku? Gumamku dalam gua perasaan bersandar di bilik hati yang telah bermantel cairan keragu-raguan ini. Kusadari kubelum pantas menganyam langkah hidupku seindah sulaman para seniman. “Ekhmm… Domi, yuk mari masuk ke dalam ?” Ajak Pak Rio, berusaha membuyarkan anganku yang mencipta tatapan kosong dari mata polosku. Kami pun masuk ke kamar Bu Flova yang telah beristirahat baik, dan tampak bayi mungilnya, digendong dengan hangat dan tulusnya oleh seorang perawat nan cantik jelita. “Eh Domi, mari mendekat ke sini?” Desah Bu Flova dengan penuh harapan terukir. Aku pun mendapatinya seraya berkata, “bagaimana keadaannya Bu?” Bibir manis Bu Flova pun bergerak dan berujar , aku sudah baikan Dom, dan syukur bayiku sehat juga kata Dokter dan para suster tadi. Awalnya aku sedikit ragu sih. Karena ragu dan cemas, lalu aku meminta agar bayiku dibawakan ke sampingku, dan memang aku melihatnya sungguh sehat.” “Hmmm, bagus dong Bu, selamat ya Ibu flova yang baik, hehehe .” Balasku sambil berpinta jauh di raga parodiku, kiranya bayi ini kelak menjadi orang baik. “Oh, maaf Dom, tolong ambilkan dulu cermin itu? “Pinta Bu Flova bertabur senyum. “Yang mana ya Bu?” Mataku bergerak bak radar mencari sinyal utama. “Yang di sebelah meja seberang, tergeletak bersampingan dengan buah apel.” “Ooo, itu rupanya.” Mulutku berbisik, dan lekas mengambilnya serta langsung memberinya ke tangan Bu Flova, dan dia menerimanya dengan sangat hati-hati. “Dom, Ibu hendak bertanya kepadamu, taukah kamu mengapa ibu menyuruh kamu mengambil cermin ini?” Tanyanya, dan kumelihat tatapan matanya menerawang jauh, dan aku tidaklah tahu entah dimana paradigmanya sekarang. “Tidak Bu, memangnya kenapa ya Bu?” Tanyaku penuh harap, dan keningku pun berkerut solah-olah memberi sinyal agar menanggapinya dengan serius. “Dulu, sebelum Ibu dan Bapak memutuskan menikah, aku sudah membeli cermin ini dari seorang tukang ojek karena aku diajak seorang teman untuk testing menjadi seorang model.” Dia menghela dan menarik nafas dan suaranya memberi melodi indah di telinga, entah kenapa aku pun tidak paham. “Cermin itu tampak kotor dan kusam, dan aku pun sesegera mungkin membersihkannya lalu melapisi bingkainya dengan cat vernis dari seorang tetangga. Tiba-tiba aku terhenyak bahwa di cermin itu aku tampak cantik dan anggun. Detak jantungku berdegup perlahan dan seiring waktu semakin kencang, karena kuteringat bahwa aku pernah menghujat Allah ketika kecil dulu, kenapa aku ini jelek seperti kata orang-orang di kampungku. Aku pun menyesal dan bertekad membahagiakan Allah dengan cara apapun, terlebih menyebarkan kasih dan damai bagi semua orang.” Jelasnya penuh keyakinan dan aku pun bertanya, “lalu Bu, apa yang terjadi dengan cermin ini?” “Aku melihat aura kepolosan di cermin bening ini, bening seolah-olah menyiratkan bahwa dengannya aku harus menjadi orang yang berhati bening. Setiap aku melahirkan , aku mengambil cermin itu dan melihat wajahku di dalamnya, apakah aku sudah tampak bening yang terlihat pada parasku? Kini aku sudah semakin tua, dan aku berniat tidak akan melahirkan lagi. Cukuplah ini kali terakhir aku melihatnya. Kini aku memberikannya buatmu seorang. Sebagai tanda bahwa cermin ini menjadi media buatmu melihat panorama dirimu, dan aku berharap kamu menjadi cermin bagi bayi kami ini yang namanya sudah kami putuskan ialah Dominikus, persis seperti namamu. Tebarkanlah damai bagi semua orang!” Aku pun terharu, dan sejenak berpikir, sungguh nyatalah ibu ini seorang Islam yang saleh, penebar damai seperti arti dari kata Islam itu. Dan kini aku bertugas menyebarkan pesan itu untuk semua orang secara universal sesuai dengan makna Katolik agamaku. Sungguh damai rasanya hidup bersaudara meski berbeda kepercayaan. Cermin itu tampak masih bening meski sudah lama dipakai. Karena cermin itu, Bu Flova bertransformasi dari prinsip yang telah ditanamnya sejak kecil bahwa dia tidak mencintai Allah, menjadi amat mencintai-Nya. Dan kini hingga selama-lamanya, aku berharap kedamaian tetap eksis tanpa pernah terbentur cobaan, bening bagi semua orang seperti cermin yang bening memperlihatkan bayangan setiap benda. Aku akan tetap menyimpan cermin ini, manatahu dengannya orang semakin melihat dirinya apakah masih kotor atau sudah transparan, terbuka bagi semua. Oleh: Sdr. Lambok Dtp.