Senin, 07 Februari 2011

Kaum Muda Yang Konsumtif

Jika kita mengingat ungkapan Descartes, “aku berpikir maka aku ada!” menjadi sebuah kebanggaan dan wujud penegasan eksistensi manusia berdasarkan rasionalitas. Saat ini, yang mendominasi adalah, “aku berbelanja, maka aku ada!” sebuah peneguhan eksistensial yang kadang tanpa dasar nalar. Kapitalisme pasar memebentuk manusia menjadi makhluk ekonomi sebagai satu-satunya dimensi kehidupannya. Tentu saja, kemudian hubungan sosial antarsesama manusia sarat dengan simbol dan logika ekonomi.

Salam damai sejahtera bagi kita semua,
Yang saya hormati bapak dan ibu guru sekalian, dewan juri, serta yang saya banggakan saudara seminaris sekalian.
Pada kesempatan ini, pantaslah kita menghaturkan syukur kepada Tuhan Yang Mahaesa, sebab Dia telah memberi kita kesehatan serta kesempatan di saat yang berbahagia ini.
Tempora mutantur et nos mutamur ini illis, ‘waktu berubah dan kita pun berubah seiring dengannya.’ Falsafah ini selalu berkutat dalam pribadi kita. Saya cukup yakin akan persepsi itu. Pada era globalisasi dewasa ini yang mana kita mengetahui begitu dahsyatnya perkembangan IPTEK, budaya masyarakat, dan perilaku sosial, membentuk berbagai problem yang signifikan di hadapan kita. Pada kesempatan ini, izinkan saya menyampaikan segelintir di antara banyaknya problem-problem itu, yakni tentang Kaum Muda yang Konsumtif. Sebenarnya apa itu konsumtif? Konsumtif adalah ideologi yang menjadikan seseorang membeli barang atau menggunakan jasa secara berlebihan, yang belakangan ini menjadi isu nasional dan kerap kali dibahas berbagai tokoh dan dipublikasikan melalui media massa. Mengapa saya mengangkat tema ini?
Para hadirin yang terhormat, kita tahu bahwa seminaris itu adalah bibit unggul, hidup dalam ruang lingkup yang hidup dengan berbagai peraturan yang membangun, yang diyakini akan membentuk pribadi yang utuh, berintelektual, emosional, daya tahan, dan spritual yang baik. Kita boleh saja sedikit berbangga akan semua itu. Berdasarkan paradigma saya, seminaris itu memiliki satu titik kelemahan yang menakutkan. Apa itu? Saya sangat yakin, ketika seminaris memiliki uang atau dalam artian berhadapan dengan uang, pasti tidak dapat menguasai diri untuk membeli dan terus membeli. Hal ini sedikit terbukti dengan penghasilan koperasi kita yang semakin naik dari tahun ke tahun, bahkan yang mendominasi perbelanjaan kita adalah makanan ringan.
Para hadirin yang tercinta, sebenarnya bukan itu saja yang menampakkan bahwa seminaris itu konsumtif. Contoh lain, banyak di antara kita kerap kali membeli pakaian, aksesoris-aksesoris, yang tidak terlalu dibutuhkan. Sebenarnya ini hendak mengatakan apa? Kita tahu bahwa kita tidak berasal dari latar belakang keluarga yang sama, tapi mengapa hal ini terjadi? Kita kembali melihat pada kemajuan zaman, kita kaum muda pada umumnya, dan seminaris khususnya berada pada posisi subordinat (posisi lebih rendah). Artinya kita mudah terpengaruh terhadap apapun yang terjadi.
Berdasarkan hasil penelitian saya di suatu sekolah, sebanyak 40,6 % dari responden yang terpilih terjerumus ke dalam arus konsumerisme. Saya hendak mengatakan kepada saudara-saudari sekalian dan secara khusus kepada seminaris bahwa ekonomi kita masih terbatas, apalagi hidup berasrama, mencari uang Rp 1000,- pun sangast sulit, maka dari itu jadilah kaum muda yang terarah, hemat, berpendidikan, dan peka terhadap ekonomi keluarga kita. Agar kita terbentuk menjadi peribadi yang baik dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Kaum muda itu cenderung ingin menikmati sesuatu yang baru, mutakhir, indah dan instan. Maka kita harus punya sifat selektif. Kita harus berpikir kritis dalam mengambil keputusan, terutama dalam membeli sesuatu. Agar tidak semakin merajalelanya kita dalam menggunakan uang yang diberikan orangtua kita.
Bagi sebagian orang yang mampu secara ekonomi, hal yang menjadi kebiasaan seseorang untuk berperilaku konsumtif yang menjadi gaya hidupnya tidaklah masalah. Bahkan salah satu cara untuk mengikuti perkembangan zaman. Namun tidaklah demikian dengan kaum muda atau kita seminaris yang kurang mampu secara ekonomis. Baiklah kita memperhatikan situasi ekonomi sesama kita. Janganlah lagi kita terlalu sering jajan jajanan karena memang ini tidaklah hal yang betul-betul dibutuhkan agar tercipta cita-cita seminari ini untuk membentuk kaum muda yang siap berkarya dimana pun berada.
Setiap kaum muda memiliki cara hidup masing-masing, baik dalam belajar, bersosial, maupun mengatur hidup diri sendiri demi menunjukkan kekhasan masing-masing. kaum muda sekarang memiliki jiwa pengetahuan yang begitu berpotensial dari sebelumnya. Maka be your self , dan ingat jauhkan diri dari hidup boros, pekalah terhadap sesama. Youth is foer tomorrow.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, akhir kata semoga pidato ini bermanfaat bagi kita semua. Jika terdapat kalimat yang salah saya minta maaf dan terima kasih.





Dominiq
Poe 10/11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar